A. Latar Belakang Pemikiran Mohammad
Arkoun
Pemikiran beliau tentang al-Qur’an
berangkat dari penelitianya tentang komparasi dua ilmuwan terkemuka yaitu Imam
as-Syuyuthi dengan karyanya al-Itqan yang merupakan cendekiawan Muslim klasik,
dengan suatu naskah mutakhir dari orientalis yaitu A.T Welch.
Menurut Mohammad Arkoun, as-Syuyuthi
dalam menyajikan judul pada al-Itqan yang terdiri dari 80 kategori memungkinkan
untuk diadakan beberapa pengamatan
menentukan yang bisa dikelompokan
menjadi tiga tema penelitian dan perenungan, yaitu, pertama, penyusunan hal yang dapat diketahui. Kedua, pengetahuan teknis dan nalar keagamaan. ketiga, yang terpikir, yang tak terpikir, dan yang tak dipikirkan.
menjadi tiga tema penelitian dan perenungan, yaitu, pertama, penyusunan hal yang dapat diketahui. Kedua, pengetahuan teknis dan nalar keagamaan. ketiga, yang terpikir, yang tak terpikir, dan yang tak dipikirkan.
a. Penyusunan hal yang dapat diketahui
Al-Itqan, sebagaimana semua karya
as-Suyuthi, menunjukan seluruh karakteristik suatu pola karangan skolastik[1]
sebagaimana diharuskan dikalangan ensiklopedis yang telah menghimpun berbagai
pengetahuan yang dikumpulkan sepanjang masa klasik. Para ensiklopedis[2]
sendiri hanya mereproduksi berbagai prosedur pemaparan yang sejak dulu digunakan
para ilmuwan sosialis, para ahli hukum, para theolog, para penafsir dsn
sebagainya yang melakukan penelitian pada masalah tertentu.[3]
Hal ini sangat jelas ditunjukan pada struktur karya-karya al-Ghazali,
al-Mawaardi, al-Juwaidi dan lain-lain setiap masalah niscaya berupa penyebutan
secara lengkap data-data yang tertera dalam sutu tradisi riwayat. Lantas semua
masalah yang sama dihimpun dalam suatu naw’ (suatu kategori pengetahuan
yang merupakan susunan dari berbagai kajian bidang tertentu misalnya kosakata,
penulisan, cara-cara pemerolehan dan lain-lain).
b. Pengetahuan Teknis dan Nalar
Keagamaan
Di antara pengetahuan teknis yang
dibangkitkan oleh tradisi skolastik dan terutama dihimpun oleh aas-suyuthi
adalah tahap-tahap analisa linguistik, leksikon, morfologi[4],
sintaksis, semantik, retorika dan prosodi.
Selanjutnya, Apa yang
dimaksud nalar oleh Mohammed Arkoun?. Dalam buku yang berjudul buku Islam
Kontemporer (menuju dialog antar agama) Bagi beliau nalar adalah cara
kelompok tertentu berpikir, menurutnya nalar lebih luas dari pada akal karena
baginya akal hanya merupakan salah satu aspek dari nalar. Salah satu ciri nalar
keagamaan yang paling mapan adalah upaya menjalin berbagai pertalian praktis
dengan nalar praktis dengan nalar teknis dalam suatu kungkungan theologis,
tanpa menyelidiki berbagai praduga, postulat dan keyakinan yang memungkinkan kegiatan tanpa kaitan satu
sama lainya di dalam kungkungan tersebut.
Menurut beliau hubungan-hubungan antara nalar keagamaan dan
nalar ilmiah tidak harus dirumuskan dalam istilah-istilah yang
mengunggulkan yang satu terhadap yang
lain .[5]
c.
Yang terpikir, yang Tak Terpikir, dan yang tak dipikirkan
Dengan bertolak dari pijakan pengamatan kronologis dan
epistemis yang disajikan aal-Itqan, menurut arkoun hal tersebut dapat mengenali
tiga momen peralihan tempat bergesernya
batas-batas antara yang terpikir, yang tak terpikir, dan yang tak dipikirkan
mengenai al-Qur’an, yaitu
-
Masa Wahyu (610-632M)
-
Pengumpulan dan Pembakuan Mushaf (632-936)
-
Masa ortodoksi (936---)
Hal-hal
yang mungkin orang Islam memikirkannya adalah “yang terpikirkan” karena
yang demikian merupakan hal yang jelas atau boleh memikirkannya, sedangkan “yang
tak terpikirkan” adalah hal-hal yang tidak mempunyai hubungan dan tidak
saling terikatnya antara ajaran agama dengan praktik kehidupan sehari-hari,
Arkoun mencontohkan seperti tidak terkaitnya antara yang dilakukan ilmuwan
dengan apa yang dikerjakan ulama, meskipun keduanya memilki keterkaitan
intelektual.
Selanjutnya,
mengenai artikel A.T Welch menurut beliau kerangka paparan artikelnya seperti
dalam sebagian besar karya-karya dari orientlis bagaimanapun halnya mengingtkan
pada kerangka paparan al-itqan yang telah dikemukakan sebelumnya.
B.
Kajian al-Qur’an menurut Mohammed Arkoun
Mohammed
Arkoun mengemukakan bahwa dirinya menggunakan metodologi historis-kritis yang
mencoba merespon rasa keingin tahuannya secara modern, karena metodologi ini
dinilainya dapat menelusuri studi tentang pengetahuan mitis yang tidak hanya
dibatasi dengan mentalitas lama. Dengan memperhatikan suasana spiritual dan
intelektual pada paruh kedua abad ke-20, pengkajian al-Qur’an mencakup tiga
momentum, yaitu:
Pertama, momentum linguistik yang akan
menopang untuk mengungkapkan suatu tatanan terpendam di bawah suatu
ketidakteraturan yang gamblang. Pada momentum ini kegiatan pendekatanya
terhadap makna ini akan selalu
menelusuri kembali berbagai naskah seperti naskah yang kita baca dimana
orang dan kata-kata, dunia dan bahasa, hidup dan perkataan, keterikatan dan
kebebasan saling berhubungan dengan berbagai determinan, berbagai pronomina,
berbagai kata kerja, berbagai kata kerja dan nominalisasi, struktur sintaksis
dan prosodi.
Kedua, momentum antropologis yang akan
konsisten untuk mengenali kembali bahasa struktur mitis di dalam al-Qur’an.
Ketiga, momentum historis di mana
jangkauan dan batas-batas penafsiran imaginatif yang diupayakan oleh kalangan
muslim hingga kini akan dirumuskan. Momentum ini seharusnya berupa volume yang
besar untuk mempertanggungjawabkan secara memadai segala pembacaan yang
didorong oleh sebuah surat. Dengan kajian ini memungkinkan untuk mengenali
berbagai kode seperti kode linguistik, kode keagamaan, kode simbolis, kode
budaya, dan kode anagonis.
C. Contoh kajian al-Qur’an Mohammed
Arkoun
Pengkajian Surat al-Fatihah
Momentum linguistik
Berikut naskah Arab lengkap yang
harus dikaji[6]:
1.Bi-ismi-l-llahi-r-rahmani-r-rahimi
2. al-hamdu li-llahi
rabbi-l-‘alamin
3. ar-rahmani –r-rahimi
4. maliki yaumi-d-din
5. iyyaka na’budu wa iyyaka
nasta’in
6. –hdina –sh-shiratha –l-mustaqima
7. shiratha –l-ladzina an’amta
‘alaihim, ghairi-l-maghdhubi ‘alaihim wa la-dhallina
a. Berbagai determinan
pertama akan dicatat bahwa semua
kata benda – Subtantif (nama diri), nama pelaku dan obyek, kata sifat subtantif
– ditentukan baik oleh kata sandang maupun suatu pelengkap determinatif. Hal
itu berarti bahwa semua yang dibicarakan penutur secara utuh dikenai dan dapat
dikenali.
Kecuali al-hamdu, al-shirath,
al-maghdhubi, dan al-dhalin, semua determinasinya ditimbulkan oleh
Allah yang menempati posisi sebagai semantis pusat.
[1] sistem logika, filsafat, dan teologi
para sarjana Abad Pertengahan atau orang terpelajar abad ke-10 hingga abad
ke-15, berlandaskan logika Aristoteles dan tulisan para ahli agama Kristen
zaman permulaan agama.
[2] mencakup (meliputi) berbagai bidang
ilmu; mempunyai pengetahuan luas (mencakup berbagai bidang ilmu)
[3] Mohammed
Arkoun terj. hidayatullah, kajian kontemporer al-quran (Bandung:Pustaka)
1998 hlm.6
[4] cabang linguistik tentang morfem dan
kombinasinya;
[5] Mohammed
Arkoun terj. Hidayatullah hlm.10
[6] Mohammed
Arkoun terj. Hidayatullah hlm.101
Related pos
pemikiran tafsir kontemporer, pemikiran tafsir modern, mohammad arkoun, mohammed arkoun, arkoun mohammed, kritik terhadap al-suyuthi oleh mohammed Arkoun, pemikiran tafsir modern kontemporer, tokoh-tokoh tafsir modern-kontemporer, tokoh-tokoh tafsir masa kini.
Related pos
pemikiran tafsir kontemporer, pemikiran tafsir modern, mohammad arkoun, mohammed arkoun, arkoun mohammed, kritik terhadap al-suyuthi oleh mohammed Arkoun, pemikiran tafsir modern kontemporer, tokoh-tokoh tafsir modern-kontemporer, tokoh-tokoh tafsir masa kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
dimohon untuk berkomentar dengan cara yang sopan dan dapat dipertanggung-jawabkan