Pages

Rabu, 15 Mei 2013

Pemikiran al-Qur'an Muhammad Arkoun (kritk terhadap al-Suyuthi dan A.T Welch)



A.    Latar Belakang Pemikiran Mohammad Arkoun
Pemikiran beliau tentang al-Qur’an berangkat dari penelitianya tentang komparasi dua ilmuwan terkemuka yaitu Imam as-Syuyuthi dengan karyanya al-Itqan yang merupakan cendekiawan Muslim klasik, dengan suatu naskah mutakhir dari orientalis yaitu A.T Welch.
Menurut Mohammad Arkoun, as-Syuyuthi dalam menyajikan judul pada al-Itqan yang terdiri dari 80 kategori memungkinkan untuk diadakan beberapa pengamatan  menentukan yang bisa dikelompokan
menjadi tiga tema penelitian dan perenungan, yaitu, pertama, penyusunan hal yang dapat diketahui. Kedua, pengetahuan teknis dan nalar keagamaan. ketiga, yang terpikir, yang tak terpikir, dan yang tak dipikirkan.
a.       Penyusunan hal yang dapat diketahui
Al-Itqan, sebagaimana semua karya as-Suyuthi, menunjukan seluruh karakteristik suatu pola karangan skolastik[1] sebagaimana diharuskan dikalangan ensiklopedis yang telah menghimpun berbagai pengetahuan yang dikumpulkan sepanjang masa klasik. Para ensiklopedis[2] sendiri hanya mereproduksi berbagai prosedur pemaparan yang sejak dulu digunakan para ilmuwan sosialis, para ahli hukum, para theolog, para penafsir dsn sebagainya yang melakukan penelitian pada masalah tertentu.[3] Hal ini sangat jelas ditunjukan pada struktur karya-karya al-Ghazali, al-Mawaardi, al-Juwaidi dan lain-lain setiap masalah niscaya berupa penyebutan secara lengkap data-data yang tertera dalam sutu tradisi riwayat. Lantas semua masalah yang sama dihimpun dalam suatu naw’ (suatu kategori pengetahuan yang merupakan susunan dari berbagai kajian bidang tertentu misalnya kosakata, penulisan, cara-cara pemerolehan dan lain-lain).
b.      Pengetahuan Teknis dan Nalar Keagamaan
Di antara pengetahuan teknis yang dibangkitkan oleh tradisi skolastik dan terutama dihimpun oleh aas-suyuthi adalah tahap-tahap analisa linguistik, leksikon, morfologi[4], sintaksis, semantik, retorika dan prosodi.
 Selanjutnya, Apa yang dimaksud nalar oleh Mohammed Arkoun?. Dalam buku yang berjudul buku Islam Kontemporer (menuju dialog antar agama) Bagi beliau nalar adalah cara kelompok tertentu berpikir, menurutnya nalar lebih luas dari pada akal karena baginya akal hanya merupakan salah satu aspek dari nalar. Salah satu ciri nalar keagamaan yang paling mapan adalah upaya menjalin berbagai pertalian praktis dengan nalar praktis dengan nalar teknis dalam suatu kungkungan theologis, tanpa menyelidiki berbagai praduga, postulat dan keyakinan  yang memungkinkan kegiatan tanpa kaitan satu sama lainya di dalam kungkungan tersebut.
Menurut beliau hubungan-hubungan antara nalar keagamaan dan nalar ilmiah tidak harus dirumuskan dalam istilah-istilah yang mengunggulkan  yang satu terhadap yang lain .[5]
c.       Yang terpikir, yang Tak Terpikir, dan yang tak dipikirkan
Dengan bertolak dari pijakan pengamatan kronologis dan epistemis yang disajikan aal-Itqan, menurut arkoun hal tersebut dapat mengenali tiga  momen peralihan tempat bergesernya batas-batas antara yang terpikir, yang tak terpikir, dan yang tak dipikirkan mengenai al-Qur’an, yaitu
-          Masa Wahyu (610-632M)
-          Pengumpulan dan Pembakuan Mushaf (632-936)
-          Masa ortodoksi (936---)
Hal-hal yang mungkin orang Islam memikirkannya adalah “yang terpikirkan” karena yang demikian merupakan hal yang jelas atau boleh memikirkannya, sedangkan “yang tak terpikirkan” adalah hal-hal yang tidak mempunyai hubungan dan tidak saling terikatnya antara ajaran agama dengan praktik kehidupan sehari-hari, Arkoun mencontohkan seperti tidak terkaitnya antara yang dilakukan ilmuwan dengan apa yang dikerjakan ulama, meskipun keduanya memilki keterkaitan intelektual.
Selanjutnya, mengenai artikel A.T Welch menurut beliau kerangka paparan artikelnya seperti dalam sebagian besar karya-karya dari orientlis bagaimanapun halnya mengingtkan pada kerangka paparan al-itqan yang telah dikemukakan sebelumnya.

B.     Kajian al-Qur’an menurut Mohammed Arkoun
Mohammed Arkoun mengemukakan bahwa dirinya menggunakan metodologi historis-kritis yang mencoba merespon rasa keingin tahuannya secara modern, karena metodologi ini dinilainya dapat menelusuri studi tentang pengetahuan mitis yang tidak hanya dibatasi dengan mentalitas lama. Dengan memperhatikan suasana spiritual dan intelektual pada paruh kedua abad ke-20, pengkajian al-Qur’an mencakup tiga momentum,  yaitu:
Pertama, momentum linguistik yang akan menopang untuk mengungkapkan suatu tatanan terpendam di bawah suatu ketidakteraturan yang gamblang. Pada momentum ini kegiatan pendekatanya terhadap makna ini akan selalu  menelusuri kembali berbagai naskah seperti naskah yang kita baca dimana orang dan kata-kata, dunia dan bahasa, hidup dan perkataan, keterikatan dan kebebasan saling berhubungan dengan berbagai determinan, berbagai pronomina, berbagai kata kerja, berbagai kata kerja dan nominalisasi, struktur sintaksis dan prosodi.
Kedua, momentum antropologis yang akan konsisten untuk mengenali kembali bahasa struktur mitis di dalam al-Qur’an.
Ketiga, momentum historis di mana jangkauan dan batas-batas penafsiran imaginatif yang diupayakan oleh kalangan muslim hingga kini akan dirumuskan. Momentum ini seharusnya berupa volume yang besar untuk mempertanggungjawabkan secara memadai segala pembacaan yang didorong oleh sebuah surat. Dengan kajian ini memungkinkan untuk mengenali berbagai kode seperti kode linguistik, kode keagamaan, kode simbolis, kode budaya, dan kode anagonis.

C.     Contoh kajian al-Qur’an Mohammed Arkoun
Pengkajian Surat al-Fatihah
Momentum linguistik
Berikut naskah Arab lengkap yang harus dikaji[6]:
1.Bi-ismi-l-llahi-r-rahmani-r-rahimi
2. al-hamdu li-llahi rabbi-l-‘alamin
3. ar-rahmani –r-rahimi
4. maliki yaumi-d-din
5. iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in
6. –hdina –sh-shiratha –l-mustaqima
7. shiratha –l-ladzina an’amta ‘alaihim, ghairi-l-maghdhubi ‘alaihim wa la-dhallina
a. Berbagai determinan
pertama akan dicatat bahwa semua kata benda – Subtantif (nama diri), nama pelaku dan obyek, kata sifat subtantif – ditentukan baik oleh kata sandang maupun suatu pelengkap determinatif. Hal itu berarti bahwa semua yang dibicarakan penutur secara utuh dikenai dan dapat dikenali.
Kecuali al-hamdu, al-shirath, al-maghdhubi, dan al-dhalin, semua determinasinya ditimbulkan oleh Allah yang menempati posisi sebagai semantis pusat.


[1] sistem logika, filsafat, dan teologi para sarjana Abad Pertengahan atau orang terpelajar abad ke-10 hingga abad ke-15, berlandaskan logika Aristoteles dan tulisan para ahli agama Kristen zaman permulaan agama.
[2] mencakup (meliputi) berbagai bidang ilmu; mempunyai pengetahuan luas (mencakup berbagai bidang ilmu)
[3] Mohammed Arkoun terj. hidayatullah, kajian kontemporer al-quran (Bandung:Pustaka) 1998 hlm.6
[4] cabang linguistik tentang morfem dan kombinasinya;
[5] Mohammed Arkoun terj. Hidayatullah hlm.10
[6] Mohammed Arkoun terj. Hidayatullah hlm.101


Related pos
pemikiran tafsir kontemporer, pemikiran tafsir modern, mohammad arkoun, mohammed arkoun, arkoun mohammed, kritik terhadap al-suyuthi oleh mohammed Arkoun, pemikiran tafsir modern kontemporer,  tokoh-tokoh tafsir modern-kontemporer, tokoh-tokoh tafsir masa kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

dimohon untuk berkomentar dengan cara yang sopan dan dapat dipertanggung-jawabkan